Pandemi, Konspirasi dan Nalar Selingkuh*
![]() |
| gambar dari freepik.com |
Mungkin agak telat bagi saya untuk turut ikut-ikutan meramaikan perdebatan tentang pandemic Covid 19 dan berbagai persoalannya yang terjadi di dunia. Mungkin juga orang akan berpikir saya latah ketika mulai ikut-ikutan mambahas teori konspirasi yang ramai dibicarakan oleh artis yg kerjaannya berantem atau yang terakhir mantan menteri yg merasa menjadi korban konpirasi. Sebenarnya saya memang agak malas untuk membahas ini tapi lama kelamaan, keusilan intelektual saya sudah semakin geli dan tak tertahankan untuk ikut berkomentar. Yaaahh….sekedar turut ramai atau apalah namanya tapi yang pasti setelah menulis ini mungkin saya akan bisa tidur nyenyak karena salah satu ide yang terjebak dalam pikiran saya sudah tersalurkan.
Suatu hari tawa saya meledak ketika seorang artis punkrock ramai berbicara di medsos tentang konspirasi ditengah pandemic Covid-19, dan yang bikin saya semakin tertawa ketika banyak followersnya ikut- ikutan percaya. Tapi saya juga sedih ketika banyak kalangan intelektual yang juga ikut-ikutan memposting pendapat tentang teori konspirasi. Bagi saya kelakuan seperti itu adalah tamparan bagi ilmu pengetahuan apalagi diantara mereka banyak yang memiliki gelar akademik mentereng.
Sedari mahasiswa saya banyak membaca tentang berbagai teori konspirasi, mulai dari illuminati dan the world order, tentang George soros yang katanya membuat Indonesia bangkrut dan mengalami krisis parah ditahun 1998, tentang uang Soekarno yang dititipkan di Bank Swiss dan seabrek teori konspirasi lainnya. Belum lagi berbagai buku-buku popular yang membahas teori konspirasi dengan sangat meyakinkan. Sungguh memberi sebuah pengalaman intelektual yang luar biasa dimasa muda. Mungkin pada saat itu karena saya masih lugu atau karena saya terlalu terbius dengan berbagai cerita konspirasi yang sungguh mencengangkan dalam narasinya. Menyenangkan memang membaca kisah-kisah konspirasi yang kadang membuat terangguk-angguk atau bahkan marah, sungguh saat itu saya menjadi radikal dan berpikir untuk menggulingkan tatanan dunia dan berbagai konspirasinya. Ya, andai saat itu saya punya kekuatan super atau modal yang tak terhingga, niatan saya mungkin sudah saya laksanakan. Beruntungnya saat itu istilah teroris juga belum popular jadi saya tidak bisa dikelompokkan kesana..hehehe. kok jadi nglantur ya…
Oke, sekarang setelah saya belajar banyak, membaca berbagai buku dan artikel ilmiah saya mulai meninggalkan bacaan-bacaan tentang terori konspirasi ini. Ketika saya tenggelam dalam sains saya mulai menertawakan diri saya yang dulu menjadi penggandrung teori konspirasi. Kenapa? Karena dalam sains saya mulai menemukan berbagai keteraturan dan jawaban dalam ilmu pengetahuan dan mulai kritis terhadap argument-argumen konspirasi yang dogmatis.
Suatu waktu saat menuntut ilmu di salah satu padepokan di Jogja, seorang guru saya pernah bertanya kepada saya. Bisa nggak kamu membedakan mana fakta dan mana realita? Saat itu saya cuma bisa bengong dan cengar-cengir dengan kebegoan saya. Belum lagi hilang keterkejutan saya, beliau melanjutkan lagi, kamu tahu nggak bedanya antara asosiasi dengan relasi? Bergidik dan pucat karena saya betul-betul tidak tahu dengan jawaban dari 2 pertanyaan itu. Padahal sebelumnya saya selalu bisa menjelaskan dengan logika yang manjur, atau berbagai teori dari buku-buku yang saya baca. Sebuah pertanyaan sederhana yang kemudian merubah cara berpikir saya, yang betul-betul menjadi revolusi yang meruntuhkan semua pandangan-pandangan mapan dalam pikiran saya, termasuk teori konspirasi.
Ternyata jawabannya sederhana guys….fakta adalah kejadian sesungguhnya, dan realita adalah fakta yang memperoleh interpretasi. Nah, jawaban pertama ini menyadarkan saya bahwa betapa seringnya kita terjebak dalam realita kita atau realita orang sehingga kadang-kadang kita mengabaikan fakta karena realita muncul atau dimunculkan lebih dramatis. Dalam sebuah penelitan psikologi seorang peneliti menempatkan 3 anak dari latar belakang keluarga berbeda dalam sebuah kamar tidur yang bentuk, ukuran dan fasilitas yang sama (semua ruangan berisi TV, Kasur Busa, Televisi, lemari, komputer dan lain lain). Anak pertama berasal dari keluarga pra-sejahtera menunjukkan reaksi dimana dia sangat terkesan dengan kamar itu, dia beranggapan bahwa dia tidak pernah merasakan kemewahan seperti itu dalam hidupnya. Anak kedua berasal dari kalangan menengah, menunjukkan reaksi yang biasa saja. Dia merasa fasilitas yang diberikan sama saja dengan yang ada dikamar dirumahnya. Anak ketiga berasal dari keluarga kaya, reaksinya kelihatan tidak senang dengan fasilitas yang diberikan. Dia merasa kamarnya terlalu sempit, televisinya kuno, komputernya lemot dan kasurnya jelek. Penelitian ini menunjukkan sebuah fakta yang sama akan tetapi diinterpretasikan berbeda oleh orang yang dengan latar yang berbeda. Sebuah fakta bisa melahirkan realita yang berbeda.
Jawaban pertanyaan kedua lebih sederhana lagi guys. Relasi adalah kejadian yang saling berhubungan (sebab akibat), sedangkan asosiasi adalah asumsi terhadap sebuah kejadian yang tidak berhubungan tapi dianggap berhubungan (kadangkala memang sebuah kejadian kelihatannya akan saling berkaitan). Biar tidak bingung saya akan beri contoh. Ketika anda belajar dan menjadi pintar itu adalah relasi. Atau ketika saya menaruh gula dalam air tawar maka air tersebut akan terasa manis, itu relasi. Ada kejadian yang menunjukkan sebab akibat dalam artian relasi adalah sebuah fakta. Untuk menjelaskan asosiasi, saya akan memberi contoh yang sedikit berbeda. Saya sedang berada pada sebuah hotel dan turun melalui lift dari lantai 10. Karena buru-buru saya lupa menyisir rambut dan baru membenahi rambut diatas lift. Pada lantai 9 pintu lift terbuka dan seorang wanita cantik masuk. Rupanya dia juga terburu-buru, diatas lift dia baru membenahi pakaiannya. Dilantai 7 pintu lift terbuka dan istri saya berdiri disitu memandang saya yang lagi membenahi rambut dan seorang perempuan cantik yang sedang membenahi pakaian. Tentu anda bisa menbak apa yg dipikirkan istri saya. Ya…dia berpikir saya selingkuh, itulah asosiasi. Sesuatu yang kelihatan berhubungan tapi tidak sama sekali.
Lalu apa hubungan kedua penjelasan diatas dengan teori konspirasi? Teori konspirasi adalah sebuah pandangan yang tidak didasarkan pada fakta tetapi lebih kepada realita dan yang dijelaskan sebenarnya adalah asosiasi bukan sebuah relasi. Penjelasan saya sederhana tapi begitulah saya memandang teori konspirasi. Beberapa narasi dalam teori konspirasi memang sangat meyakinkan, tetapi kalau kita telusuri, kita tidak akan menemukan unsur-unsur keilmiahan didalamnya. Mungkian ada fakta didalamnya, tapi pasti akan ditumpuk dengan realita sehingga penjelasannya kelihatan meyakinkan. Menumpuk fakta dan realita dalam komunikasi politik disebut dengan card stacking technique yang banyak dipakai dalam propaganda atau agitasi. Jadi teori konspirasi itu propaganda? Silahkan anda nilai…hehehehe.
Trus nalar selingkuhnya gimana? Nah…kalo anda percaya teori konspirasi berarti anda percaya saya selingkuh dengan gadis cantik yang di lift tadi….wkwkwkwk.
-----
*Artikel ini ditulis oleh Andi Ali Armunanto SIP., MA., Dosen Dept. Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Member dari the Lectors
![]() |
| foto koleksi the Lectors |
**Artikel ini telah mendapatkan ijin penulis untuk diterbitkan pada blog ini.


Comments
Post a Comment