Posts

Showing posts from 2020

Bisakah kelas virtual dibuat Vibrant?

Image
Selamat malam pak, saya .... maba hubungan internasional. Kalau boleh tau bapak mengajar pengantar hubungan internasional kelas apa pak? Saya mau ikut kelas bapak 😁 Makasih sebelumnya pak 🙏  belum tahu dek, nda hapal.  Kelas A,B,C atau D pak?  saya mesti cek lagi    Kira kira kapan pak? Agar saya hubungi bapak lagi😁   -----  Begitu satu dari beberapa percakapan sekitar 8 minggu lalu dengan mahasiswa baru. P2KMB baru selesai, kelas belum mulai, mahasiswa baru dan dosen belum pernah bertemu, tapi ada beberapa mahasiswa yang "ngotot" mau ikut dikelasku. Semangat belajar mereka ini yang bikin saya juga akhirnya bersemangat untuk mempersiapkan kelas dengan baik.  Tapi saya juga penasaran, sejauh mana harapan mereka terhadap kelas saya, terhadap dept HI, terhadap diri mereka sendiri dan terhadap teman-temannya. maka pertemuan pertama saya siapkan untuk sesi saling berkenalan dan bersama-sama mengisi "pohon harapan" (saya menggunakan platform padlet.com)  Dari pertemu

MELETAKKAN KEMBALI PONDASI EKONOMI SULSEL. Oleh : a.m.sallatu*

Image
sumberfoto: logovcelebes.id Di saat perekonomian nasional dan wilayah di tanah air menikmati surplus melalui marjin keuntungan selama pertumbuhan ekonomi, petani kecil dan buruh tani nyaris tidak memperoleh tetesan ke bawah secara berarti. Kehidupan mereka tetap pada batas tertinggi tingkat subsisten. Dalam data Susenas yang hampir setiap tahun dirilis, petani kecil dan buruh tani secara laten tergolong ke dalam kelompok pendapatan 40 persen terbawah. Dalam kelompok pendapatan ini, mereka tergolong mayoritas, berdampingan dengan kaum marjinal yang hidup di daerah perkotaan. Di saat Covid19 yang menyebar cepat, mereka ini sudah lama terjerambab lalu kemudian tentu saja semakin terhimpit.   Secara keilmuan, dengan nalar yang logis, bila Covid19 ini merupakan kanker dalam kehidupan petani kecil dan buruh tani, pasti saja sudah didiagnosis pada stadium tinggi. Logikanya, ajal kehidupan mereka tinggal menunggu tarikan nafas terakhir. Oleh karena mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk

Sekolah Favorit dan harapan pemerataan kualitas sekolah

Image
sumber foto: freepik.com Kalau kita mau mencari rumah makan yang enak, biasanya kita mencari rekomendasi dari teman atau kalau sudah dijalan maka kita default mencari rumah makan yang ramai pengunjung. Karena dengan ramai pengunjung hampir bisa dipastikan rumah makan itu enak makanannya (bisa jadi juga faktor lain semisal bersih atau pelayanannya yang ramah). Dalam memilih sekolah, mirip tapi tak sama, kita juga mencari sekolah yang banyak pendaftarnya, yang banyak direkomendasikan oleh orang-orang yang kita kenal (keluarga atau teman). Maka berlomba-lombalah kita orang tua mendaftarkan anak kita di sekolah favorit itu. Kita yakin bahwa sekolah itu berkualitas, masa depan anak-anak kita akan cemerlang jika bersekolah disitu.  Bagaimana jika tidak lulus? apakah kita harus larut dalam kesedihan? apakah kita harus merasa bahwa anak kita bodoh? apakah kita harus merasa masa depan anak kita akan suram? apakah pihak yang memiliki otoritas merancang dan mengelola sistem pendidikan seperti in

Gelar dan Jabatan Bisa Jadi Pembatas Menikmati Hidup

Image
sumber foto: freepik.com Sebelum memulai satu pelatihan yang saya fasilitasi, saya diberi tahu bahwa ada beberapa peserta yang lebih tua dari saya dan dan beberapa adalah memegang jabatan. Meski sudah punya beberapa pengalaman memfasilitasi orang yang lebih tua, lebih pintar dan pejabat, tapi saya merasa tertantang dan percaya diri. Oh iya, saya selalu lebih percaya diri sebagai fasilitator dibanding narasumber (belakangan disebut narazoomer ) karena sebagai fasilitator saya tidak harus lebih pintar dari peserta, karena saya bukan narasumber/ahli yang mau datang memberi tahu mana yang benar.   Seperti biasa, diawal pelatihan (yang akan berlangsung 4 hari) sy bilang "semoga kita semua disini mau bersepakat bahwa kita semua setara, minimal didalam ruangan ini. Saya berdiri bukan karena lebih pintar. Oleh karena itu, kalo memungkinkan saya sarankan segala gelar akademik, jabatan dst, kita titip di meja resepsionis dulu didepan (menunjuk meja didepan ruangan) nanti kalo keluar bisa di

Bawa Pulang Jenazah PDP atau Protokol Covid19. Mana yang benar?

Image
Sumber gambar: tirto.id Sampai tulisan ini dibuat, bisa kita bilang " only in Makassar " dimana ada jenazah PDP dibawa pulang oleh keluarga dengan beberapa argumentasi, satu diantaranya adalah bahwa jenazah meninggal bukan karena covid19 sehingga bisa dimakamkan secara "layak" oleh keluarga. Saya yakin ada argumentasi lainnya lagi.  Diwaktu yang lain lagi, kita disuguhi cerita penggalan video yang memperlihatkan adegan dimana tenaga kesehatan seolah tidak berprikemanusiaan memperlakukan pasien pun juga keluarga pasien. Dalam ngobrol santai dengan teman, menurut kami agak sulit untuk menyalahkan kedua pihak. Satu pihak ingin memakamkan keluarganya secara ‘layak’, meskipun itu harus dengan membawa lari jenazah PDP, di sisi lain pihak tenaga kesehatan harus mengamankan jenazah PDP karena berpotensi untuk menulari orang lain, jadi sebenarnya tenaga kesehatan ingin menjaga orang-orang yang masih hidup. Kita bisa saja menerka-menerka titik masalahnya dimana: informasi dan

COVID19 DAN WAWASAN KEWILAYAHAN*

Image
penulis: a.m.sallatu Sumber foto logovcelebes.id   Covid19 adalah permasalahan kesehatan, yang nota bene adalah salah satu sektor pembangunan. Ataupun, dalam besarannya, termasuk bagian dalam sektor sosial. Bisakah Covid19 ini ditangani dan diselesaikan permasalahan nya secara sektoral ? Kata mustahil memang segera patut mengemuka. Oleh karena Covid19 lebih patut dilekatkan pada permasalahan wilayah dan kewilayahan. Lockdown, karantina, pembatasan, atau apapun substansi kebijakan penanganan yang ingin digunakan sepatutnya menggunakan, wawasan dasar wilayah dan kewilayahan.   Sadar atau tidak sadar, mulai dari penentu kebijakan, implementor, pelaku pembangunan bahkan masyarakat luas sendiri akan sangat naïf bila tidak mengakui betapa mendasar pentingnya, mulai cara pandang sampai kepada program dan kegiatan, termasuk Covid19 ini, yang harus berbasis wilayah. Wawasan wilayahnya harus terlebih dahulu diletakkan, baru memikirkan substansi penanggulangan apa yang dibutuhkan untuk menanganin

New Normal, kewarasan baru dan realitas objektif*

Image
gambar dari feepik.com ” Manusia sangat memerlukan kegilaan, jika ia menolak untuk menjadi gila, maka ia akan dimasukkan dalam bentuk kegilaan yang lain.” Penggalan kalimat  Dan Dostroyesvki diatas seakan mau bilang kepada kita bahwa dalam peradaban, kita menjaga kegilaan supaya tetap waras. Ya. Kita butuh orang gila untuk membuktikan kita waras dan kita butuh kewarasan supaya kita bisa menyebut orang lain gila. Nah apa yang terjadi ketika kewarasan berubah bentuk karena sebuah pandemi? Pemerintah kita menyebutnya New Normal atau Kenormalan baru seperti yang baru saja diumumkan oleh Badan Bahasa sebagai padanannya. Tapi new normal bukan hanya sebuah istilah guys, ini jauh lebih besar. Ia adalah sebuah wacana yang akan mempengaruhi kehidupan kita kedepannya, dan menjadi sebuah standar baru untuk kewarasan. Anda bisa bayangkan, sebelum masa pandemic kalau ada orang yg pake masker kemana-mana, sebentar-sebentar cuci tangan dan takut bersentuhan dengan orang lain dikategorikan dalam sebuah

Presentasi: Kesan Pertama Begitu Menggoda, Selanjutnya...

Image
diambil dari freepik.com Selama kurang lebih 2 tahun, pada kelas pembekalan kepada mahasiswa baru Universitas Hasanuddin yang saya fasilitasi, atau diminta mebawakan materi ke anak-anak muda milenial, saya selalu memulai dengan perkenalan seperti biasa, lalu saya sampaikan bahwa saya juga dulu pernah muda, culun, innocent , jelek (lebih jelek dari sekarang maksudnya). Mau lihat tampang saya waktu masih SMA? tiba tiba foto dibawah ini muncul di screen. foto dari tongkeli.blogspot.com   Bisa ditebak, reaksi mahasiswa dan mahasiswi seperti apa? yaa riuh!. Saya bahkan pernah melihat ada yang saling pukul dengan teman disebelahnya karena ngakak nda ketulungan. Saya menikmati reaksi mereka, membiarkannya reda sendiri lalu saya lanjut "iyaaa iyaaa,, lucu saya memang waktu itu saya masih jelek, silahkan diketawai. Tapi coba lihat bedanya sekarang?" lalu foto dibawah ini nongol di screen. foto diolah Reaksi mahasiswa kurang lebih sama (untuk tidak mengatakan lebih "gila"). L

Kapan pandemi akan berakhir?

Image
Foto dimodifikasi dari freepik.com Pertanyaan ini saya yakin ditanyakan oleh semua orang, baik secara terang-terangan atau pun cuma menggumam dalam hati saja. Akhir dari pandemi adalah harapan kita semua. Namun, siapa yang benar-benar bisa menjawab pertanyaan ini? Para sejarawan mencoba menjawabnya Salah satu artikel yang saya baca menjelaskan bahwa pandemi ini memiliki akhir dalam dua perspektif. Pertama, berakhir secara sosial. Orang-orang akan sampai pada titik jenuh untuk dibatasi ruang geraknya. Di beberapa negara, hal ini sudah terjadi, dimana orang-orang sudah tidak mau lagi tinggal dirumah dan memilih untuk beraktifitas seperti biasa. Pertimbangan pemerintah untuk membuka pembatasan sosial juga banyak dipengaruhi dinamika "berakhir sosial" ini, orang ingin bekerja untuk mendapatkan uang membiayai hidupnya dan keluarga. Dalam masa pandemi, kebijakan lebih dipengaruhi oleh hal ini bukan data medis dan kesehatan masyarakat (Brandt, 2020) Kedua, berakhir secara medis. Akh

Pandemi Covid19: Ujian Bagi Evidence Based Policy

Image
gambar diambil dari freepik.com Sulawesi Selatan dan ibukotanya, Makassar, saat ini dipimpin oleh akademisi dengan jabatan (sebagian masyarakat umum memaknainya sebagai sebuah gelar) tertinggi dalam dunia pendidikan: Professor. Saya yakin bahwa banyak orang yang berharap kedua pemimpin itu dapat merumuskan kebijakan-kebijakannya dengan berbasis pada obyektifitas, memiliki bukti-bukti yang didapatkan melalui serangkaian proses sistematis, semua bersesuaian dengan nature dari jabatan/gelarnya. Hal ini dikenal sebagai kebijakan berbasis bukti atau evidence based policy . Sebuah tantangan yang tidak mudah mengingat bahwa dunia kebijakan sangat kompleks dan terlalu banyak faktor yang mempengaruhi, bukti dan/atau hasil riset hanya salah satu faktor saja.  Mengapa kita layak berharap pada kebijakan berbasis evidence ? Meskipun bukan menjadi hal baru karena sejak zaman Yunani Kuno, Aristoteles telah mengajukan pemikiran tentang perlunya kontribusi beragam pengetahuan pada pembuatan aturan. Se